07 Agustus, 2008

TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA

“dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan” (Adzaariyaat 56-57)

Ada kalimat yang terlalu sering muncul dalam catatan pinggir Goenawan Mohammad akhir-akhir ini. “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA”. Dia benar, tetapi kalimat yang benar sering kali tidak menuju ke suatu kebenaran, bahkan bisa mengandung, melahirkan dan menyusui kebathilan.

Saya pribadi kagum dengan tulisan-tulisan Pak Gun serta keluasan referensinya. Tetapi kenapa Pak Gun menegaskan ayat ke 57 dengan me-negasi-kan ayat ke 56? Tentu saja saya samasekali tidak ingin menghakimi. Toh Pak Gun dan teman2 di komunitas Utan Kayu tidak suka hakim-hakiman. Mesti tanpa sadar (atau sadar/setengah sadar ya? :D) kalian sering melakukannya. Bahkan pada Allah. Seperti komentar beliau tentang tsunami di aceh, “Tuhanku bukan tuhan yang kejam dan menghukum”

Atau seperti ketika Abdul Moqsit Ghozali menulis tentang “tuhannya kaum fundamentalis” dan “tuhannya kaum sufi”. Tuhannya kaum fundamentalis menurutnya adalah tuhan yang memiliki nama dan sifat Al-jabaar (maha memaksa), al-mutakabbir (maha membanggakan diri) dan seterusnya yang dibajak dari asmaul husna. Sedangkan tuhan kaum sufi adalah tuhan yang Arrahmaan (maha pengasih), Arrahiim (Maha penyayang) dan sejenisnya dalam asmaul husna, maka ..kata moqsit.. sudah sepantasnya untuk adab ini manusia memilih Tuhan yang lebih ramah (asli ngakak pas baca yang ini wakakkaka).

Yang menjadi pertanyaan, apa bila semua memang sifat Allah, mengapa pak moqsit harus memvonis menjadi dua, dan memilih satu sisi saja??

Satu hal yang saya tangkap dari tulisan Pak Gun dan kawan2 di komunitas Utan kayu, yaitu, “bila Tuhan begitu ramah, ngapain takut sama Tuhan?? buat apa mentaati syariat-syariatnya?

Jikalau kalimat “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA” dibalik maknanya, Pak Gun…mungkin lho ya..ingin mengatakan, buat apa kita sholat kalo tuhan saja tidak butuh?” wekekke..mungkin lho….maka dari kalimat yang “benar” tersebut akan mucul persepsi bathil yang bisa berakibat fatal kepada pemahaman islam yang menyeluruh.


Maaf lho pak gun, saya cuman orang bodoh :D

*dari beberapa sumber

3 comments:

Anonim mengatakan...

“dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan” (Adzaariyaat 56-57)

Ada kalimat yang terlalu sering muncul dalam catatan pinggir Goenawan Mohammad akhir-akhir ini. “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA”. Dia benar, tetapi kalimat yang benar sering kali tidak menuju ke suatu kebenaran, bahkan bisa mengandung, melahirkan dan menyusui kebathilan.

Saya pribadi kagum dengan tulisan-tulisan Pak Gun serta keluasan referensinya. Tetapi kenapa Pak Gun menegaskan ayat ke 57 dengan me-negasi-kan ayat ke 56? Tentu saja saya samasekali tidak ingin menghakimi. Toh Pak Gun dan teman2 di komunitas Utan Kayu tidak suka hakim-hakiman. Mesti tanpa sadar (atau sadar/setengah sadar ya? :D) kalian sering melakukannya. Bahkan pada Allah. Seperti komentar beliau tentang tsunami di aceh, “Tuhanku bukan tuhan yang kejam dan menghukum”

Atau seperti ketika Abdul Moqsit Ghozali menulis tentang “tuhannya kaum fundamentalis” dan “tuhannya kaum sufi”. Tuhannya kaum fundamentalis menurutnya adalah tuhan yang memiliki nama dan sifat Al-jabaar (maha memaksa), al-mutakabbir (maha membanggakan diri) dan seterusnya yang dibajak dari asmaul husna. Sedangkan tuhan kaum sufi adalah tuhan yang Arrahmaan (maha pengasih), Arrahiim (Maha penyayang) dan sejenisnya dalam asmaul husna, maka ..kata moqsit.. sudah sepantasnya untuk adab ini manusia memilih Tuhan yang lebih ramah (asli ngakak pas baca yang ini wakakkaka).

Yang menjadi pertanyaan, apa bila semua memang sifat Allah, mengapa pak moqsit harus memvonis menjadi dua, dan memilih satu sisi saja??

Satu hal yang saya tangkap dari tulisan Pak Gun dan kawan2 di komunitas Utan kayu, yaitu, “bila Tuhan begitu ramah, ngapain takut sama Tuhan?? buat apa mentaati syariat-syariatnya?

Jikalau kalimat “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA” dibalik maknanya, Pak Gun…mungkin lho ya..ingin mengatakan, buat apa kita sholat kalo tuhan saja tidak butuh?” wekekke..mungkin lho….maka dari kalimat yang “benar” tersebut akan mucul persepsi bathil yang bisa berakibat fatal kepada pemahaman islam yang menyeluruh.


Maaf lho pak gun, saya cuman orang bodoh :D

*dari beberapa sumber

parto_sentono mengatakan...

“dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan” (Adzaariyaat 56-57)

Ada kalimat yang terlalu sering muncul dalam catatan pinggir Goenawan Mohammad akhir-akhir ini. “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA”. Dia benar, tetapi kalimat yang benar sering kali tidak menuju ke suatu kebenaran, bahkan bisa mengandung, melahirkan dan menyusui kebathilan.

Saya pribadi kagum dengan tulisan-tulisan Pak Gun serta keluasan referensinya. Tetapi kenapa Pak Gun menegaskan ayat ke 57 dengan me-negasi-kan ayat ke 56? Tentu saja saya samasekali tidak ingin menghakimi. Toh Pak Gun dan teman2 di komunitas Utan Kayu tidak suka hakim-hakiman. Mesti tanpa sadar (atau sadar/setengah sadar ya? :D) kalian sering melakukannya. Bahkan pada Allah. Seperti komentar beliau tentang tsunami di aceh, “Tuhanku bukan tuhan yang kejam dan menghukum”

Atau seperti ketika Abdul Moqsit Ghozali menulis tentang “tuhannya kaum fundamentalis” dan “tuhannya kaum sufi”. Tuhannya kaum fundamentalis menurutnya adalah tuhan yang memiliki nama dan sifat Al-jabaar (maha memaksa), al-mutakabbir (maha membanggakan diri) dan seterusnya yang dibajak dari asmaul husna. Sedangkan tuhan kaum sufi adalah tuhan yang Arrahmaan (maha pengasih), Arrahiim (Maha penyayang) dan sejenisnya dalam asmaul husna, maka ..kata moqsit.. sudah sepantasnya untuk adab ini manusia memilih Tuhan yang lebih ramah (asli ngakak pas baca yang ini wakakkaka).

Yang menjadi pertanyaan, apa bila semua memang sifat Allah, mengapa pak moqsit harus memvonis menjadi dua, dan memilih satu sisi saja??

Satu hal yang saya tangkap dari tulisan Pak Gun dan kawan2 di komunitas Utan kayu, yaitu, “bila Tuhan begitu ramah, ngapain takut sama Tuhan?? buat apa mentaati syariat-syariatnya?

Jikalau kalimat “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA” dibalik maknanya, Pak Gun…mungkin lho ya..ingin mengatakan, buat apa kita sholat kalo tuhan saja tidak butuh?” wekekke..mungkin lho….maka dari kalimat yang “benar” tersebut akan mucul persepsi bathil yang bisa berakibat fatal kepada pemahaman islam yang menyeluruh.


Maaf lho pak gun, saya cuman orang bodoh :D

*dari beberapa sumber

Anonim mengatakan...

“dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan untuk beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rizqi sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberiku makan” (Adzaariyaat 56-57)

Ada kalimat yang terlalu sering muncul dalam catatan pinggir Goenawan Mohammad akhir-akhir ini. “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA”. Dia benar, tetapi kalimat yang benar sering kali tidak menuju ke suatu kebenaran, bahkan bisa mengandung, melahirkan dan menyusui kebathilan.

Saya pribadi kagum dengan tulisan-tulisan Pak Gun serta keluasan referensinya. Tetapi kenapa Pak Gun menegaskan ayat ke 57 dengan me-negasi-kan ayat ke 56? Tentu saja saya samasekali tidak ingin menghakimi. Toh Pak Gun dan teman2 di komunitas Utan Kayu tidak suka hakim-hakiman. Mesti tanpa sadar (atau sadar/setengah sadar ya? :D) kalian sering melakukannya. Bahkan pada Allah. Seperti komentar beliau tentang tsunami di aceh, “Tuhanku bukan tuhan yang kejam dan menghukum”

Atau seperti ketika Abdul Moqsit Ghozali menulis tentang “tuhannya kaum fundamentalis” dan “tuhannya kaum sufi”. Tuhannya kaum fundamentalis menurutnya adalah tuhan yang memiliki nama dan sifat Al-jabaar (maha memaksa), al-mutakabbir (maha membanggakan diri) dan seterusnya yang dibajak dari asmaul husna. Sedangkan tuhan kaum sufi adalah tuhan yang Arrahmaan (maha pengasih), Arrahiim (Maha penyayang) dan sejenisnya dalam asmaul husna, maka ..kata moqsit.. sudah sepantasnya untuk adab ini manusia memilih Tuhan yang lebih ramah (asli ngakak pas baca yang ini wakakkaka).

Yang menjadi pertanyaan, apa bila semua memang sifat Allah, mengapa pak moqsit harus memvonis menjadi dua, dan memilih satu sisi saja??

Satu hal yang saya tangkap dari tulisan Pak Gun dan kawan2 di komunitas Utan kayu, yaitu, “bila Tuhan begitu ramah, ngapain takut sama Tuhan?? buat apa mentaati syariat-syariatnya?

Jikalau kalimat “TUHAN TIDAK BUTUH SEMBAHYANG MANUSIA” dibalik maknanya, Pak Gun…mungkin lho ya..ingin mengatakan, buat apa kita sholat kalo tuhan saja tidak butuh?” wekekke..mungkin lho….maka dari kalimat yang “benar” tersebut akan mucul persepsi bathil yang bisa berakibat fatal kepada pemahaman islam yang menyeluruh.


Maaf lho pak gun, saya cuman orang bodoh :D

*dari beberapa sumber