22 Agustus, 2008

Mari berpikir solutif

Suatu saat, saya ditanya oleh tetangga saya. Beliau menanyakan tentang boleh tidaknya melaksanakan aqiqah ketika usia sudah besar (dalam hal ini anaknya sudah smp). Terus terang, sepengetahuan saya, aqiqah dilaksanakan ketika anak berusia 7, 14, 21 hari. di luar itu, wallahua'lam, saya kurang begitu paham, karena para ulama pun berbeda pendapat mengenai hal ini.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin menyoroti tentang hiruk pikuk masalah fiqih, karena memang bukan porsi saya (aku sopo sih wekekek). Saya hanya berniat menyoroti tentang pola pikir salah yang selama ini menjadi penyakit menular yang berbahaya yang menggerogoti sendi sendi umat islam. Pola pikir tersebut adalah "pola pikir tanpa solusi".

Contoh dalam masalah akikah tadi. Kita terlalu berkutat dengan masalah "boleh tidaknya aqiqah ketika sudah dewasa" kita sibuk mencari pendapat ulama ini, pendapat ulama itu, sibuk mencari dalil-dalil yang mendukung alasan kita.

Padahal, pada jaman Rosulullah SAW, hampir setiap orang bisa melaksanakan aqiqah, semiskin apapun dia, sehingga permasalahan "boleh enggak kalo aqiqah pas usah gedhe", hampir tidak pernah muncul ke permukaan. Karena, pada jaman keemasan islam tersebut, ketika ada bayi lahir dari keluarga miskin, tetangga-tetangga langsung berlomba-lomba untuk meringankan beban keluarga yang bersangkutan. Ada yang menyumbang satu dirham, ada yang menyumbang tenaga, ada yang meberi kambing dll.

Itulah yang saya sebut pola pikir solutif. Bagaimana kita berpikir "bagaimana menyelesaikan masalah", bukan "bagaimana cara menghakimi sesuatu yang bermasalah".

Ketika Tsa'labah memohon kepada Rosulullah agar di doakan menjadi orang kaya, oleh Rosulullah, selain di doakan, juga di beri seekor kambing betina yang sedang hamil. Itulah solusi, dicontohkan nyata oleh teladan seluruh alam, Rosulullah Muhammad SAW.

Mari kita berpikir, bagaimana tetangga kita yang miskin, bisa hidup dengan layak, bukan menyalahkan "kebodohannya" mencari nafkah. Mari kita berpikir, bagaimana agar sampah bisa dikelola dengan baik, bukan menyalahkan pemerintah yang kekurangan armada truk pengangkut sampah. Mari kita berpikir, bagaimana cara tetangga kita yang belum menikah agar segera menikah, bukan menyalahkan "wajahnya" yang kebetulan "tidak menjual". dan banyak lagi contoh yang bisa kita pikirkan bagaimana solusinya.

Wallahua'lam bishowab

2 comments:

Anonim mengatakan...

Suatu saat, saya ditanya oleh tetangga saya. Beliau menanyakan tentang boleh tidaknya melaksanakan aqiqah ketika usia sudah besar (dalam hal ini anaknya sudah smp). Terus terang, sepengetahuan saya, aqiqah dilaksanakan ketika anak berusia 7, 14, 21 hari. di luar itu, wallahua'lam, saya kurang begitu paham, karena para ulama pun berbeda pendapat mengenai hal ini.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin menyoroti tentang hiruk pikuk masalah fiqih, karena memang bukan porsi saya (aku sopo sih wekekek). Saya hanya berniat menyoroti tentang pola pikir salah yang selama ini menjadi penyakit menular yang berbahaya yang menggerogoti sendi sendi umat islam. Pola pikir tersebut adalah "pola pikir tanpa solusi".

Contoh dalam masalah akikah tadi. Kita terlalu berkutat dengan masalah "boleh tidaknya aqiqah ketika sudah dewasa" kita sibuk mencari pendapat ulama ini, pendapat ulama itu, sibuk mencari dalil-dalil yang mendukung alasan kita.

Padahal, pada jaman Rosulullah SAW, hampir setiap orang bisa melaksanakan aqiqah, semiskin apapun dia, sehingga permasalahan "boleh enggak kalo aqiqah pas usah gedhe", hampir tidak pernah muncul ke permukaan. Karena, pada jaman keemasan islam tersebut, ketika ada bayi lahir dari keluarga miskin, tetangga-tetangga langsung berlomba-lomba untuk meringankan beban keluarga yang bersangkutan. Ada yang menyumbang satu dirham, ada yang menyumbang tenaga, ada yang meberi kambing dll.

Itulah yang saya sebut pola pikir solutif. Bagaimana kita berpikir "bagaimana menyelesaikan masalah", bukan "bagaimana cara menghakimi sesuatu yang bermasalah".

Ketika Tsa'labah memohon kepada Rosulullah agar di doakan menjadi orang kaya, oleh Rosulullah, selain di doakan, juga di beri seekor kambing betina yang sedang hamil. Itulah solusi, dicontohkan nyata oleh teladan seluruh alam, Rosulullah Muhammad SAW.

Mari kita berpikir, bagaimana tetangga kita yang miskin, bisa hidup dengan layak, bukan menyalahkan "kebodohannya" mencari nafkah. Mari kita berpikir, bagaimana agar sampah bisa dikelola dengan baik, bukan menyalahkan pemerintah yang kekurangan armada truk pengangkut sampah. Mari kita berpikir, bagaimana cara tetangga kita yang belum menikah agar segera menikah, bukan menyalahkan "wajahnya" yang kebetulan "tidak menjual". dan banyak lagi contoh yang bisa kita pikirkan bagaimana solusinya.

Wallahua'lam bishowab

parto_sentono mengatakan...

Suatu saat, saya ditanya oleh tetangga saya. Beliau menanyakan tentang boleh tidaknya melaksanakan aqiqah ketika usia sudah besar (dalam hal ini anaknya sudah smp). Terus terang, sepengetahuan saya, aqiqah dilaksanakan ketika anak berusia 7, 14, 21 hari. di luar itu, wallahua'lam, saya kurang begitu paham, karena para ulama pun berbeda pendapat mengenai hal ini.

Dalam tulisan ini saya tidak ingin menyoroti tentang hiruk pikuk masalah fiqih, karena memang bukan porsi saya (aku sopo sih wekekek). Saya hanya berniat menyoroti tentang pola pikir salah yang selama ini menjadi penyakit menular yang berbahaya yang menggerogoti sendi sendi umat islam. Pola pikir tersebut adalah "pola pikir tanpa solusi".

Contoh dalam masalah akikah tadi. Kita terlalu berkutat dengan masalah "boleh tidaknya aqiqah ketika sudah dewasa" kita sibuk mencari pendapat ulama ini, pendapat ulama itu, sibuk mencari dalil-dalil yang mendukung alasan kita.

Padahal, pada jaman Rosulullah SAW, hampir setiap orang bisa melaksanakan aqiqah, semiskin apapun dia, sehingga permasalahan "boleh enggak kalo aqiqah pas usah gedhe", hampir tidak pernah muncul ke permukaan. Karena, pada jaman keemasan islam tersebut, ketika ada bayi lahir dari keluarga miskin, tetangga-tetangga langsung berlomba-lomba untuk meringankan beban keluarga yang bersangkutan. Ada yang menyumbang satu dirham, ada yang menyumbang tenaga, ada yang meberi kambing dll.

Itulah yang saya sebut pola pikir solutif. Bagaimana kita berpikir "bagaimana menyelesaikan masalah", bukan "bagaimana cara menghakimi sesuatu yang bermasalah".

Ketika Tsa'labah memohon kepada Rosulullah agar di doakan menjadi orang kaya, oleh Rosulullah, selain di doakan, juga di beri seekor kambing betina yang sedang hamil. Itulah solusi, dicontohkan nyata oleh teladan seluruh alam, Rosulullah Muhammad SAW.

Mari kita berpikir, bagaimana tetangga kita yang miskin, bisa hidup dengan layak, bukan menyalahkan "kebodohannya" mencari nafkah. Mari kita berpikir, bagaimana agar sampah bisa dikelola dengan baik, bukan menyalahkan pemerintah yang kekurangan armada truk pengangkut sampah. Mari kita berpikir, bagaimana cara tetangga kita yang belum menikah agar segera menikah, bukan menyalahkan "wajahnya" yang kebetulan "tidak menjual". dan banyak lagi contoh yang bisa kita pikirkan bagaimana solusinya.

Wallahua'lam bishowab