10 Agustus, 2008

Diponegoro (sejarah manis bagian 3)

Tiga puluh tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru, Cicitnya, Diponegoro, yang telah dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam pentahbisan Sultan di Matesih; “Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagaming Jawa Khalifat Rosulillah Sain.

Mengapa memilih nama “Abdul Hamid”? Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang berjudul Strategi Menjinakan Diponegoro sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan Hamid I di Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan jawa atas kata Arab Ats Tsanii, yang berarti ‘yang kedua’. Penambahan Kabirul Mukmin juga menarik, ditambah lagi penggantian kata Khalifatullah dengan Khalifat Rosulillah. Ini menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah mendengan atsar Abu Bakr, “Khalifatullah hanyalah Dawud ‘Alaihissalam”?

Nah, lebih menraik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hirearkis kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat alibasah. Mereka membawahi beberapa basah. Dan Komandan terendahnya disebut Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja adalah pengucapan jawa untul kata turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah. Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, dan Borjomu’ah. Nah, yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elite Sultan Turki.

Kalau ingin melihat seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam lukisan Raden Saleh berjudul Historiche Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Haupttling Diepo Negoro – yang mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya nicolaas pieneman- yang menjadi versi resmi Pemerintah Belanda- sangat santri, dan sangat tidak “njawani”. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.

Darimana Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali catatan kabur tentang berlabuhnya tiga kapal raksasa di pantai selatan jawadi saat perang sedang ramai ramainya. Yang, pangeran dari Kesultanan Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘Ulama. Kalau kita menonton film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, terlihat bahwa disamping Shalahuddin selalu berdiri seorang ‘Ulama muda yang penuh dengan semangat Jihad, yang kadang mendebat sengit bila Shalahuddin berbicara tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja jawaban sang ‘Alim berwajah tampan ini yang tersurat dalam babad ketika menjawab tawaran damai Jenderal De Kock.

Ngantepi Islam Samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Qur’an pan Ayat Katal

Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah dalil
Dalam Al-Qur’an Surat At Taubah

Selesai
Disadur secara bebas dari bukunya mas Salim A Fillah

3 comments:

Anonim mengatakan...

Tiga puluh tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru, Cicitnya, Diponegoro, yang telah dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam pentahbisan Sultan di Matesih; “Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagaming Jawa Khalifat Rosulillah Sain.

Mengapa memilih nama “Abdul Hamid”? Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang berjudul Strategi Menjinakan Diponegoro sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan Hamid I di Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan jawa atas kata Arab Ats Tsanii, yang berarti ‘yang kedua’. Penambahan Kabirul Mukmin juga menarik, ditambah lagi penggantian kata Khalifatullah dengan Khalifat Rosulillah. Ini menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah mendengan atsar Abu Bakr, “Khalifatullah hanyalah Dawud ‘Alaihissalam”?

Nah, lebih menraik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hirearkis kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat alibasah. Mereka membawahi beberapa basah. Dan Komandan terendahnya disebut Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja adalah pengucapan jawa untul kata turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah. Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, dan Borjomu’ah. Nah, yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elite Sultan Turki.

Kalau ingin melihat seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam lukisan Raden Saleh berjudul Historiche Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Haupttling Diepo Negoro – yang mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya nicolaas pieneman- yang menjadi versi resmi Pemerintah Belanda- sangat santri, dan sangat tidak “njawani”. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.

Darimana Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali catatan kabur tentang berlabuhnya tiga kapal raksasa di pantai selatan jawadi saat perang sedang ramai ramainya. Yang, pangeran dari Kesultanan Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘Ulama. Kalau kita menonton film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, terlihat bahwa disamping Shalahuddin selalu berdiri seorang ‘Ulama muda yang penuh dengan semangat Jihad, yang kadang mendebat sengit bila Shalahuddin berbicara tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja jawaban sang ‘Alim berwajah tampan ini yang tersurat dalam babad ketika menjawab tawaran damai Jenderal De Kock.

Ngantepi Islam Samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Qur’an pan Ayat Katal

Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah dalil
Dalam Al-Qur’an Surat At Taubah

Selesai
Disadur secara bebas dari bukunya mas Salim A Fillah

parto_sentono mengatakan...

Tiga puluh tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru, Cicitnya, Diponegoro, yang telah dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam pentahbisan Sultan di Matesih; “Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagaming Jawa Khalifat Rosulillah Sain.

Mengapa memilih nama “Abdul Hamid”? Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang berjudul Strategi Menjinakan Diponegoro sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan Hamid I di Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan jawa atas kata Arab Ats Tsanii, yang berarti ‘yang kedua’. Penambahan Kabirul Mukmin juga menarik, ditambah lagi penggantian kata Khalifatullah dengan Khalifat Rosulillah. Ini menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah mendengan atsar Abu Bakr, “Khalifatullah hanyalah Dawud ‘Alaihissalam”?

Nah, lebih menraik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hirearkis kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat alibasah. Mereka membawahi beberapa basah. Dan Komandan terendahnya disebut Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja adalah pengucapan jawa untul kata turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah. Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, dan Borjomu’ah. Nah, yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elite Sultan Turki.

Kalau ingin melihat seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam lukisan Raden Saleh berjudul Historiche Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Haupttling Diepo Negoro – yang mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya nicolaas pieneman- yang menjadi versi resmi Pemerintah Belanda- sangat santri, dan sangat tidak “njawani”. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.

Darimana Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali catatan kabur tentang berlabuhnya tiga kapal raksasa di pantai selatan jawadi saat perang sedang ramai ramainya. Yang, pangeran dari Kesultanan Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘Ulama. Kalau kita menonton film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, terlihat bahwa disamping Shalahuddin selalu berdiri seorang ‘Ulama muda yang penuh dengan semangat Jihad, yang kadang mendebat sengit bila Shalahuddin berbicara tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja jawaban sang ‘Alim berwajah tampan ini yang tersurat dalam babad ketika menjawab tawaran damai Jenderal De Kock.

Ngantepi Islam Samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Qur’an pan Ayat Katal

Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah dalil
Dalam Al-Qur’an Surat At Taubah

Selesai
Disadur secara bebas dari bukunya mas Salim A Fillah

Anonim mengatakan...

Tiga puluh tahun setelah mangkatnya Hamengkubuwono I, kesultanan yang ditinggalkannya mulai bergolak untuk melahirkan pahlawan baru, Cicitnya, Diponegoro, yang telah dua kali menolak ditawari menjadi Hamengkubuwono IV, yang memimpin perlawanan paling berdarah terhadap Belanda, memakai gelar yang sangat menarik dalam pentahbisan Sultan di Matesih; “Abdul Hamid Herucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagaming Jawa Khalifat Rosulillah Sain.

Mengapa memilih nama “Abdul Hamid”? Polycarpus Swantoro dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu, Saleh As’ad Djamhari dalam disertasinya yang berjudul Strategi Menjinakan Diponegoro sepakat, bahwa Diponegoro lahir di masa pemerintahan Sultan Hamid I di Turki ‘Utsmaniyah. Kata ‘Sain’, menurut Swantoro, kemungkinan adalah pengucapan jawa atas kata Arab Ats Tsanii, yang berarti ‘yang kedua’. Penambahan Kabirul Mukmin juga menarik, ditambah lagi penggantian kata Khalifatullah dengan Khalifat Rosulillah. Ini menunjukkan pengaruh riwayat hadits yang lebih dalam. Adakah Diponegoro pernah mendengan atsar Abu Bakr, “Khalifatullah hanyalah Dawud ‘Alaihissalam”?

Nah, lebih menraik lagi fakta yang disampaikan Djamhari, bahwa hirearkis kepangkatan, susunan militer, pakaian seragam, bahkan nama korps dalam pasukan Diponegoro sangat jauh dari bau Jawa maupun Eropa. Misalnya, Diponegoro didampingi oleh empat alibasah. Mereka membawahi beberapa basah. Dan Komandan terendahnya disebut Angadaulah dan Dulah. Itu, tentu saja adalah pengucapan jawa untul kata turki Ali Pasha, Pasha, dan Agha Daulah. Dalam barisan ini ada korps Bulkiya, Turkiya, dan Borjomu’ah. Nah, yang ini persis dengan susunan militer Janissarie, pasukan elite Sultan Turki.

Kalau ingin melihat seragam prajurit Diponegoro, tergambar jelas dalam lukisan Raden Saleh berjudul Historiche Tableu, die Gefangennachmen des Javanischen Haupttling Diepo Negoro – yang mewakili nasionalisme kita- dan bahkan lukisan karya nicolaas pieneman- yang menjadi versi resmi Pemerintah Belanda- sangat santri, dan sangat tidak “njawani”. Yang ini dibahas dalam buku Peter B. Carey, Asal-usul Perang Jawa.

Darimana Diponegoro memahami hal-hal ini? Djamhari pun belum bisa memastikan, kecuali catatan kabur tentang berlabuhnya tiga kapal raksasa di pantai selatan jawadi saat perang sedang ramai ramainya. Yang, pangeran dari Kesultanan Yogyakarta ini sejak kecil sangat dekat dengan para ‘Ulama. Kalau kita menonton film Kingdom of Heaven garapan Ridley Scott, terlihat bahwa disamping Shalahuddin selalu berdiri seorang ‘Ulama muda yang penuh dengan semangat Jihad, yang kadang mendebat sengit bila Shalahuddin berbicara tentang perdamaian. Seperti Salahuddin, Diponegoro punya Kiai Mojo. Simak saja jawaban sang ‘Alim berwajah tampan ini yang tersurat dalam babad ketika menjawab tawaran damai Jenderal De Kock.

Ngantepi Islam Samya
Nglampahi parentah dalil
Ing Qur’an pan Ayat Katal

Bersama memantapkan Islamnya
Melaksanakan perintah dalil
Dalam Al-Qur’an Surat At Taubah

Selesai
Disadur secara bebas dari bukunya mas Salim A Fillah