09 Agustus, 2008

menjelang agak pahit (sejarah manis bagian2)

Keterputusan hubungan agaknya membuat mataram –pelanjutDemak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan Tetapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitu Sultan – sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar sultan. Dan itu artinya Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan dari superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah penyerbuan Batavia tahun 1628 – 1629, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan ini terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘Ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon”

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Ruu’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan oleh Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan kepadanya, sebagai ahli waris Sultan Agung jika dia mengakhiri perang dan menerima perjanjian Giyanti. Maka berdirilah Kesultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari negara atas angin. Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrahman, Sayidin Panatagama, Khalifatullah Tanah Jawa kembali bergema.

Bersambung…

4 comments:

Anonim mengatakan...

Keterputusan hubungan agaknya membuat mataram –pelanjutDemak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan Tetapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitu Sultan – sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar sultan. Dan itu artinya Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan dari superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah penyerbuan Batavia tahun 1628 – 1629, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan ini terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘Ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon”

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Ruu’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan oleh Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan kepadanya, sebagai ahli waris Sultan Agung jika dia mengakhiri perang dan menerima perjanjian Giyanti. Maka berdirilah Kesultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari negara atas angin. Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrahman, Sayidin Panatagama, Khalifatullah Tanah Jawa kembali bergema.

Bersambung…

parto_sentono mengatakan...

Keterputusan hubungan agaknya membuat mataram –pelanjutDemak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan Tetapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitu Sultan – sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar sultan. Dan itu artinya Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan dari superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah penyerbuan Batavia tahun 1628 – 1629, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan ini terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘Ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon”

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Ruu’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan oleh Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan kepadanya, sebagai ahli waris Sultan Agung jika dia mengakhiri perang dan menerima perjanjian Giyanti. Maka berdirilah Kesultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari negara atas angin. Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrahman, Sayidin Panatagama, Khalifatullah Tanah Jawa kembali bergema.

Bersambung…

Anonim mengatakan...

Keterputusan hubungan agaknya membuat mataram –pelanjutDemak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan Tetapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitu Sultan – sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar sultan. Dan itu artinya Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan dari superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah penyerbuan Batavia tahun 1628 – 1629, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan ini terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘Ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon”

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Ruu’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan oleh Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan kepadanya, sebagai ahli waris Sultan Agung jika dia mengakhiri perang dan menerima perjanjian Giyanti. Maka berdirilah Kesultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari negara atas angin. Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrahman, Sayidin Panatagama, Khalifatullah Tanah Jawa kembali bergema.

Bersambung…

parto_sentono mengatakan...

Keterputusan hubungan agaknya membuat mataram –pelanjutDemak dan Pajang- diperintah bukan oleh orang bergelar Sultan Tetapi Panembahan. Hingga Panembahan Hanyokrokusumo dengan itikad sangat baik pada tahun 1641 mengirim dutanya kepada Sultan Rum –begitu Sultan – sultan ‘Utsmani dikenal di Nusantara- untuk mendapat pengesahan gelar sultan. Dan itu artinya Mataram kembali mendudukkan diri sebagai bawahan dari superstate Kesultanan ‘Utsmaniyah. Lihatlah lukisan sejarah penyerbuan Batavia tahun 1628 – 1629, yang mahkotanya sangat kentara sebagai ‘tarbusy’, topi khas Turki.

Hubungan ini terputus lagi. Pengganti Sultan Agung, Amangkurat I, yang dalam Babad dikisahkan membantai ribuan orang termasuk ratusan ‘Ulama Giri, dan melewati mayat-mayat bergelimang darah dengan menyingsingkan kainnya menggunakan gelar khas Jawa; Susuhunan, artinya ‘yang dimohon”

Seabad kemudian, dengan mendandani seorang pelaut arab yang terdampar di pantai utara Jawa sebagai ‘utusan Sultan Ruu’, Belanda mengakhiri perang yang dikobarkan oleh Pangeran Mangkubumi. Utusan palsu itu meyakinkan sang pangeran bahwa Sultan Rum akan memberikan gelar Sultan kepadanya, sebagai ahli waris Sultan Agung jika dia mengakhiri perang dan menerima perjanjian Giyanti. Maka berdirilah Kesultanan Yogyakarta dengan legalitas dari ‘Sultan Rum, dari negara atas angin. Gelar ‘Sultan’ yang diikuti kata-kata ‘Abdurrahman, Sayidin Panatagama, Khalifatullah Tanah Jawa kembali bergema.

Bersambung…