04 September, 2008

Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

Bagian 3

Dibalik kebesarannya, ada bayangan kebesaran lain yang nyata sempurnya dalam kesehariannya. Beliau adalah suami, ayah, tetangga, juga teman duduk dan rekan seperjalanan.

Beliau adalah suami yang sempat mengajak istri balapan lari. Atau meredakan kecemburuan istri dengan memencet hidungnya. Beliau membiasakan panggilan khumairaa (yang kemerahan roman mukanya), ‘Aisy (‘Aisyah kecil) dan panggilan sayang lainya di dalam rumah. Bahkan ia wafat dalam pelukan- sambil berciuman sampai air ludah menyatu dengan istri tercinta. Di sela masa sibuk memimpin kaum muslimin, beliau sempat menambal baju, membersihkan terompah bahkan menggiling gandum dan memerah susu untuk santapannya.

Tidak kaku, begitu luwes pemimpin besar ini menjadi ayah yang menimang Ibrahim sang putera. “Lihatlah ‘Aisy, bukankah Ibrahim mirim denganku?” tanyanya suatu ketika. Saat Ibrahim dipanggil Allahpun, dalam posisi sebagai ayah yang penyayang, mengatakan, “Mengalir air mata bersedih hati, namu kami tak mengatakan yang Allah murkai.., dan sungguh dengan kematianmu wahai Ibrahin, kami begitu bersedih..” (HR Muslim)

Tetangganya begitu tenteram, aman dari gangguan tangan dan lisan sebagaimana yang beliau sabdakan. Bahkan unik, saat ia di musushi di Makkah, sampai saat ia hijrah, penduduk Makkah, orang yang ingin membunuhnya, pun masih percaya untuk menitipkan barang-barangnya pada belaiau sehingga ‘Ali harus di tinggal untuk mengembalikannya. AL Amin…gelar yang tidak hanya sekedar gelar..

Beliau adalah teman duduk yang mengasyikkan, candanya tak pernah berbumbu dusta. “Wahai pemilik dua telinga!”, panggilan paling lucu di Arab yang membuat shahabat tergelak ini pernah beliau serukan pada Az Zubair. Penampilan ebliaua begitu sederhana, tak ingin berbeda dari shahabatnya. Tetapi tetap saja beliau selalu rapi, wangi, dan menyejukkan mata. Beliau tidak suka orang berdiri menyambut kedatangannya, beliau paling awal menjenguk orang sakit, duduk bersama kaum miskin dan menghadiri undangan budak sahaya.

Beliau juga teman seperjalanan yang menyenangkan. Ketika tiba saat menyembelih domba dan yang lain berkata, “Akulah yang akan mengulitinya”, “Akulah yang akan memasaknya”. Maka beliaua segera mencari celah untuk berperan, misalnya berkata “Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.”
Pemimpin besar ini amat besar rasa malunya melebihi gadis dalam pingitan. Kalau dalam kepungan ahzab para shahabat hanya mengganjal perut dengan satu batu, beliau dengan dua batu. Tapi disaat itulah, disaat keadaan paling genting, ketika Madinah terjepit menunggu sapuan pasukan sekutu Ahzab, beliau adalah orang yang paling tenang dan menenangkan, bahkan memberikan motivasi dengan sesuatu yang mustahil menurut pertimbangan akal.

Al Barra’ ibn Adzib menceritakan hari-hari sulit dalam penggalian khandaq. “Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sanagt keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal itu kepada Rosulullah SAW, beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah..” , kemudian beliau menghantam tanah keras itu sekali hantam hingga muncul percikan api.

“Allahu akbar!! Aku diberi kunci-kunci syam. Demi Allah, aku benar-benar melihat istananya yang bercat merah saat ini” Lalu beliau menghantam bagian tanah keras yang lain dan kembali bersabda “Allahu Akbar, Aku diberi tanah Persia. Demi Allah aku dapat melihat istana Mada’in yang berwarna putih saat ini”. Dan yang ketiga beliau bersabda “Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah dari tempat ini aku bisa melihat pintu gerbang pintu gerbang Shan’a”

Begitulah, kemuliaan tak pernah jemu mengiringi setiap langkah Rosulullah sejak sebelum Nubuwwah.

1 comments:

Unknown mengatakan...

Bagian 3

Dibalik kebesarannya, ada bayangan kebesaran lain yang nyata sempurnya dalam kesehariannya. Beliau adalah suami, ayah, tetangga, juga teman duduk dan rekan seperjalanan.

Beliau adalah suami yang sempat mengajak istri balapan lari. Atau meredakan kecemburuan istri dengan memencet hidungnya. Beliau membiasakan panggilan khumairaa (yang kemerahan roman mukanya), ‘Aisy (‘Aisyah kecil) dan panggilan sayang lainya di dalam rumah. Bahkan ia wafat dalam pelukan- sambil berciuman sampai air ludah menyatu dengan istri tercinta. Di sela masa sibuk memimpin kaum muslimin, beliau sempat menambal baju, membersihkan terompah bahkan menggiling gandum dan memerah susu untuk santapannya.

Tidak kaku, begitu luwes pemimpin besar ini menjadi ayah yang menimang Ibrahim sang putera. “Lihatlah ‘Aisy, bukankah Ibrahim mirim denganku?” tanyanya suatu ketika. Saat Ibrahim dipanggil Allahpun, dalam posisi sebagai ayah yang penyayang, mengatakan, “Mengalir air mata bersedih hati, namu kami tak mengatakan yang Allah murkai.., dan sungguh dengan kematianmu wahai Ibrahin, kami begitu bersedih..” (HR Muslim)

Tetangganya begitu tenteram, aman dari gangguan tangan dan lisan sebagaimana yang beliau sabdakan. Bahkan unik, saat ia di musushi di Makkah, sampai saat ia hijrah, penduduk Makkah, orang yang ingin membunuhnya, pun masih percaya untuk menitipkan barang-barangnya pada belaiau sehingga ‘Ali harus di tinggal untuk mengembalikannya. AL Amin…gelar yang tidak hanya sekedar gelar..

Beliau adalah teman duduk yang mengasyikkan, candanya tak pernah berbumbu dusta. “Wahai pemilik dua telinga!”, panggilan paling lucu di Arab yang membuat shahabat tergelak ini pernah beliau serukan pada Az Zubair. Penampilan ebliaua begitu sederhana, tak ingin berbeda dari shahabatnya. Tetapi tetap saja beliau selalu rapi, wangi, dan menyejukkan mata. Beliau tidak suka orang berdiri menyambut kedatangannya, beliau paling awal menjenguk orang sakit, duduk bersama kaum miskin dan menghadiri undangan budak sahaya.

Beliau juga teman seperjalanan yang menyenangkan. Ketika tiba saat menyembelih domba dan yang lain berkata, “Akulah yang akan mengulitinya”, “Akulah yang akan memasaknya”. Maka beliaua segera mencari celah untuk berperan, misalnya berkata “Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.”
Pemimpin besar ini amat besar rasa malunya melebihi gadis dalam pingitan. Kalau dalam kepungan ahzab para shahabat hanya mengganjal perut dengan satu batu, beliau dengan dua batu. Tapi disaat itulah, disaat keadaan paling genting, ketika Madinah terjepit menunggu sapuan pasukan sekutu Ahzab, beliau adalah orang yang paling tenang dan menenangkan, bahkan memberikan motivasi dengan sesuatu yang mustahil menurut pertimbangan akal.

Al Barra’ ibn Adzib menceritakan hari-hari sulit dalam penggalian khandaq. “Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sanagt keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal itu kepada Rosulullah SAW, beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, “Bismillah..” , kemudian beliau menghantam tanah keras itu sekali hantam hingga muncul percikan api.

“Allahu akbar!! Aku diberi kunci-kunci syam. Demi Allah, aku benar-benar melihat istananya yang bercat merah saat ini” Lalu beliau menghantam bagian tanah keras yang lain dan kembali bersabda “Allahu Akbar, Aku diberi tanah Persia. Demi Allah aku dapat melihat istana Mada’in yang berwarna putih saat ini”. Dan yang ketiga beliau bersabda “Allahu Akbar, aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah dari tempat ini aku bisa melihat pintu gerbang pintu gerbang Shan’a”

Begitulah, kemuliaan tak pernah jemu mengiringi setiap langkah Rosulullah sejak sebelum Nubuwwah.