30 Oktober, 2008

Akibat sosial yang tak pernah terpikirkan

*gerakan syahwat merdeka bagian ke dua

Semua rangkaian musibah sosial ini tidak pernah difikirkan oleh penulis cerpen-puisi- novelis erotis yang umumnya asyik berdandan dengan dirinya sendiri, mabuk posisi selebriti, ke sana disanjung ke sini dipuji, tidak pernah bersedia merenungkan akibat yang mungkin ditimbulkan oleh tulisannya. Sejumlah cerpen dan novel pasca reformasi sudah dikatakan orang mendekati VCD/DVD porno tertulis. Maukah mereka
membayangkan, bahwa sesudah sebuah cerpen atau novel dengan rangsangan syahwat terbit, maka beberapa ratus atau ribu pembaca yang terangsang itu akan mencontoh melakukan apa yang disebutkan dalam alinea-alinea di atas tadi, dengan segala rentetan kemungkinan yang bisa terjadiselanjutnya?

Destruksi sosial yang dilakukan penulis cerpen-novel syahwat itu, beradik-kakak dengan destruksi yang dilakukan produsen-pengedar- pembajak- pengecer VCD/DVD porno, beredar (diperkirakan) sebanyak 20 juta keping, yang telah meruyak di masyarakat kita, masyarakat konsumen pornografi terbesar dan termurah di dunia. Dulu harganya
Rp30.000 sekeping, kini Rp3.000, sama murahnya dengan 3 batang rokok kretek. Mengisap rokok kretek 15 menit sama biayanya dengan memiliki dan menonton sekeping VCD/DVD syahwat sepanjang 6o menit itu. Bersama dengan produsen alkohol, narkoba dan nikotin, mereka tidak sadar telah menjadi unsur penting pengukuhan masyarakat permissif-addiktif serba-boleh- apa-saja-genjot, yang dengan bersemangat melabrak apa
yang mereka anggap tabu selama ini, berpartisipasi meluluh-lantakkan moralitas anak bangsa.

26 Oktober, 2008

Menguji Rasa Malu Diri Sendiri (gerakan syahwat merdeka seri1)

Tulisan ini saya ambil dari sebagian pidato kebudayaan taufik ismail yang berjudul BUDIDAYA MALU DIKIKIS HABIS GERAKAN SYAHWAT MERDEKA. karena panjangnya tulisan beliau, saya kutip sebagian sebagian yang sangat terasa di hati saya :D

Menguji rasa malu diri sendiri

Seorang pengarang muda meminta pendapat saya tentang cerita pendeknya yang dimuat di sebuah media. Dia berkata, "Kalau cerpen saya itu dianggap pornografis, wah, sedihlah saya." Saya waktu itu belum sempat membacanya. Tapi saya kirimkan padanya pendapat saya mengenai pornografi. Begini.

Misalkan saya menulis sebuah cerpen. Saya akan mentes, menguji karya saya itu lewat dua tahap. Pertama, bila tokoh-tokoh di dalam karya saya itu saya ganti dengan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak atau adik saya; lalu kedua, karya itu saya bacakan di depan ayah, ibu, mertua, isteri, anak, kakak, adik, siswa di kelas sekolah, anggota pengajian masjid, jamaah gereja; kemudian saya tidak merasa malu,
tiada dipermalukan, tak canggung, tak risi, tak muak dan tidak jijik karenanya, maka karya saya itu bukan karya pornografi.

Tapi kalau ketika saya membacakannya di depan orang-orang itu saya merasa malu, dipermalukan, tak patut, tak pantas, canggung, risi, muak dan jijik, maka karya saya itu pornografis.

Hal ini berlaku pula bila karya itu bukan karya saya, ketika saya menilai karya orang lain. Sebaliknya dipakai tolok ukur yang sama juga, yaitu bila orang lain menilai karya saya. Setiap pembaca bisa melakukan tes tersebut dengan cara yang serupa.

Pendekatan saya adalah pengujian rasa malu itu. Rasa malu itu yang kini luntur dalam warna tekstil kehidupan bangsa kita, dalam terlalu banyak hal.

Sebuah majalah mesum dunia dengan selaput artistik, Playboy, menumpang taufan reformasi dan gelombang liberalisme akhirnya terbit juga di Indonesia. Majalah ini diam-diam jadi tempat pelatihan awal onani pembaca Amerika, dan kini, beberapa puluh tahun kemudian, dikalahkan internet, sehingga jadilah publik pembaca Playboy dan publik langganan situs porno internet Amerika masturbator terbesar di dunia. Majalah
pabrik pengeruk keuntungan dari kulit tubuh perempuan ini, mencoba menjajakan bentuk eksploitasi kaum Hawa di negeri kita yang pangsa pasarnya luarbiasa besar ini. Bila mereka berhasil, maka bakal berderet antri masuk lagi majalah anti-tekstil di tubuh perempuan dan fundamentalis- syahwat-merdeka seperti Penthouse, Hustler, Celebrity
Skin, Cheri, Swank, Velvet, Cherry Pop, XXX Teens dan seterusnya.

Untuk mengukur sendiri rasa malu penerbit dan redaktur Playboy Indonesia, saya sarankan kepada mereka melakukan sebuah percobaan, yaitu mengganti model 4/5 telanjang majalah itu dengan ibu kandung, ibu mertua, kakak, adik, isteri dan anak perempuan mereka sendiri. Saran ini belum berlaku sekarang, tapi kelak suatu hari ketika Playboy Indonesia keluar perilaku aslinya dalam masalah ketelanjangan model
yang dipotret. Sekarang mereka masih malu-malu kucing. Sesudah dibuat dalam edisi dummy, promosikan foto-foto itu itu di 10 saluran televisi dan 25 suratkabar. Bagaimana? Berani? Malu atau tidak?

Pendekatan lain yang dapat dipakai juga adalah menduga-memperkirakan-mengingat akibat yang mungkin terjadi sesudah orang membaca karya pornografis itu. Sesudah seseorang membaca, katakan cerpen yang memberi sugesti secara samar-samar terjadinya hubungan kelamin, apalagi kalau dengan jelas mendeskripsikan adegannya, apakah dengan
kata-kata indah yang dianggap sastrawi atau kalimat-kalimat brutal, maka pembaca akan terangsang. Sesudah terangsang yang paling penakut akan onani dan yang paling nekat akan memperkosa. Memperkosa perempuan dewasa tidak mudah, karena itu anak kecil jadi sasaran. Perkosaanbanyak terjadi terhadap anak-anak kecil masih bau susu bubuk belum haid yang di rumah sendirian karena papi-mami pergi kerja, pembantu
pergi ke pasar, jam 9-10 pagi.

Anak-anak tanggung pemerkosa itu, ketika diinterogasi dan ditanya kenapa, umumnya bilang karena sesudah menonton VCD porno mereka terangsang ingin mencoba sendiri. Merayu orang dewasa takut, mendekati perempuan-bayaran tidak ada uang. Kalau diteliti lebih jauh kasus yang sangat banyak ini (peneliti yang rajin akan bisa mendapat S-3 lewat tumpukan guntingan koran), mungkin saja anak itu juga pernah membaca cerita pendek, puisi, novel atau komik cabul.

Akibat selanjutnya, merebak-meluaslah aborsi, prostitusi, penularan penyakit kelamin gonorrhoea, syphilis, HIV-AIDS, yang meruyak di kota-kota besar Indonesia berbarengan dengan akibat penggunaan alkohol dan narkoba yang tak kalah destruktifnya.

04 Oktober, 2008

Rumah Kecil Tsa

Cerpen ini begitu menarik, benar-benar indah, saking indahnya, saya sampai lupa dimana dulu saya mengambilnya. Dalam cerpen ini diceritakan tentang keegoisan orang tua yang kurang memahami psikologis anak. sangat cocok untuk para orang tua, atau siapapun yang sedang belajar menjadi orang tua. Permohonan maaf saya sampaikan kepada pemilik situs yang memuat cerpen ini, karena saya benar-benar lupa. Hanya keinginan kuat agar orang lain merasakan manfaat dari hikmah yang terkandung dalam cerpen ini.

RUMAH KECIL TSA--Haerani
Dikemas 23/12/2004 oleh Editor


Bandung terasa makin panas. Bulan Juni yang penuh dengan sesak dan sesal, menambah-nambah kekhawatiran Bambang saja. Sudah jam 4 sore Tsa belum pulang juga. Aneh. Biasanya ia sudah asyik berdiam di rumah kecilnya. Ya, rumah kecil yang penuh kedamaian, begitu menurutnya.


Pada awalnya itu hanyalah sebuah kandang anak kucing -Gege- yang pernah amat didambakan Tsa. Namun kini sudah diubah menyerupai rumah sungguhan---berpintu dan berjendela. Namun ukurannya hanya cukup untuk Tsa dan manusia seukurannya. Sedangkan Gege sudah terusir karena menurut Tsa dia galak, jorok dan suka mencuri. Padahal kalau dikenang betapa menjengkelkan rengekannya saat Tsa meminta anak kucing itu.
“Aku mau anak kucing kayak Alia dan Tomi, Yah. Tiap hari mereka selalu membicarakan anak kucing. Omonganku tidak pernah diperhatikan lagi karena mereka bilang aku tak punya anak kucing seperti mereka. Padahal aku kan bisa punya anak kucing dan merawatnya dengan baik. Boleh ya?”
Dindingnya terbuat dari papan yang dicat biru muda, sesuai keinginan Tsa. Permukaan pintu dihiasi warna pelangi, sedangkan pada bagian dinding luar Tsa menambahkan gambar gunung dan pohon. Tampak manis dan menarik. Lalu satu hari ia lukis dirinya sendiri di dinding itu. Begitu ditanya ayahnya, ia berkata bahwa yang tinggal di rumah itu hanya dia karena rumah itu kecil dan dia anak kecil.
Bambang kerap diajak mengunjungi rumah kecil itu, seolah mereka tinggal terpisah dan jauh. Tapi memang kenyataannya Tsa lebih sering diam di rumah kecilnya daripada di kamarnya sendiri yang jauh lebih luas dan cerah.
Tsa bisa bersikap ramah dan dewasa ketika menerima tamunya dan dapat pula melayaninya dengan baik. Kalaupun ayahnya sedang sibuk, ia kerap memaksanya bertamu jika sudah cukup lama tak ada orang yang datang ke rumahnya. “Ayo silakan masuk, anggap saja rumah sendiri. Maaf tak ada kursi, duduk di karpet saja, ya.”
Kalimat inilah yang kerap ia ucapkan pada setiap tamunya juga pada ayahnya. “Ups maaf saya lupa, boleh saya keluar dulu sebentar?” Bambang hanya mengangguk, walau tak mengerti apa yang hendak dilakukan anaknya. Ia menunggu dengan badan yang ditekuk.
“Mau minum apa?” Tsa kembali dengan sekeresek makanan dan sebotol air putih. “Di sini semuanya kecil dan sederhana. Tidak ada toples, piring, apalagi kursi. Yang ada hanya buku-buku ini.” Tsa menumpuk buku-bukunya menjadi meja dan meletakkan makanan di atasnya. “Hm..tapi gak apa-apa kan. Apa Ayah merasa nyaman di sini?,” Tsa tersenyum.
Bambang membalas senyum, tapi gundah, cemas, bosan dan rasa geli menyelimuti wajahnya.
Setiap hari Tsa menghabiskan waktunya di rumah kecilnya. Ditemani buku-buku yang ia pinjam dari perpustakaan, teman, guru dan yang ia beli sendiri dari uang jajannya. Tiap minggu ia undang teman-teman sekolahnya. Juga Alia dan Tomi teman bermainnya. Ini ia lakukan untuk membuktikan bahwa rumah itu sangatlah berbeda dengan anggapan teman-temannya itu. Dia ingin menunjukkan rumah itu tidaklah sempit. Sampai-sampai ia suruh semua teman sekolahnya masuk secara bersamaan. Tentu saja teman-temannya saling tergencet, apalagi makin hari buku-buku makin menumpuk di dalamnya.
Ayah Tsa komplain tentang perbuatannya yang nyeleneh. Tsa tetap bersikeras bahwa memang rumah itu amat luas.
“Ayah jangan melihat dari ukurannya saja atuh, coba Ayah rasakan suasana di dalamnya, pasti lebih luas. Makanya aku selalu mengajak Ayah masuk ke dalam. Karena aku ingin Ayah merasakan hal yang sama denganku, begitu juga teman-temanku.”
Akhirnya ia kerap komplain pada dirinya sendiri. Dia benci otak anak itu yang begitu terobsesi oleh rumah papan sialan itu. Kalau saja Gege tidak ia beli, barangkali tak akan pernah ada kandang itu di depan rumahnya. Ya, hanya kandang.
Jam 5 tepat. Kecemasan makin menggelayutinya. Rumah kecil itu masih kosong. Lama-lama ia ia menjadi muak. Kemana Tsa pergi? “Ah..bikin jengkel saja anak itu. Kalau begini terus pekerjaanku bisa terbengkalai.”
Mungkinkah Tsa marah karena aku sering melarangnya diam di rumah itu? Ah dia itu anak yang keras kepala, dan sok tahu, selalu saja ingin menang. Dan dengan gayanya yang sok itu selalu ingin membuktikan segala hal. Heh! Menyedihkan, warisan dari siapa sifat begitu?
Tiba-tiba timbul pikiran kotor di benaknya. Inilah saat tepat menyingkirkan kandang itu. Ya, tentu saja. Ia bergegas mengambil perkakas di gudang belakang. Bagaimanapun kandang itu sudah mengotori otak anakku. Maka tidak salah bila aku menghancurkannya. Lagipula aku bisa membelikannya rumah sungguhan yang mewah dan nyaman. Kampak besar telah dipanggul di pundak yang kekar. Kampak itu diangkat tinggi. Tapi tidak jadi dihantamkan, Bambang merasa miris. Itu harta bagi Tsa.
Perlahan ia masuk ke dalam, badannya ditekuk. Ada buku-buku di sana. Ada juga album foto. Ini baru pertama kali ia lihat. Dengan hati-hati ia pun membukanya. Album itu berisi foto-foto Tsa waktu bayi. Fotonya waktu menggendong Tsa dan foto…Plak!! Bambang segera menutupnya dengan kasar. Dengan beringas ia keluar dan PRAK! PRAK! Rumah kecil Tsa hancur lebur.
Tsa berdiri kaku di pintu gerbang, mulutnya tertutup rapat. Badannya gemetar. Tak ada sepatah kata pun yang terucapkan. Sementara Bambang terus menerus menghantamkan kampak ke rumah kecil Tsa. Harta.
“A-yah, a-yah...” Tsa tumbang, sekujur tubuhnya penuh luka. Ruhnya terbang dan hancur bersama rumah kecilnya.